Sabtu, 18 Mei 2024

Pengamat SDM Minta Perusahaan Segera Respon Tren Jam Kerja Fleksibel

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi. Work From Anywhere. Foto: Pixabay

Marliana Junaedi dosen dan pengamat Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas Widya Mandala (WM) Surabaya berpendapat, perusahaan jaman sekarang harus mulai merespon dan menyesuaikan penerapan tren “Jam Kerja Fleksibel”.

Dia menyebut, menerapkan tren yang banyak digemari Gen Y (milenial) dan Z tersebut akan jadi prospek bagus untuk perusahaan pada masa mendatang. Apalagi produktivitas dua generasi tersebut, biasaya bergantung pada mood kerja.

“Sekarang memang Gen Y dan Z yang sudah mulai kerja, dan mereka model kerjanya seperti itu, menunggu mood. Jadi tidak bisa kalau dipaksa dari jam 9-5 sore. Bahkan beberapa mahasiswa saya, banyak yang lebih suka kerja di malam hari. Energi dan idenya muncul di jam-jam itu,” papar Marliana saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (4/5/2023).

Menurutnya, ada kelebihan untuk karyawan maupun perusahaan dari penerapan tren jam kerja fleksibel tersebut.

Dari sisi kelebihan untuk karyawan, selain menjaga mood kerja untuk tetap produktif, mereka akan memiliki waktu lebih untuk keperluan pribadi an keluarga yang biasanya bebarengan dengan jam kerja.

“Misalnya karyawan bisa masuk jam 9 atau 10 sehingga terhindar dari macet yang bikin stress di jalanan. Kemudian mereka juga bisa punya penghasilan lain dari sampingannya. Tapi khusus sampingan harus ada perjanjian dulu dengan perusahaan agar tidak mengganggu kinerjanya,” jelasnya.

Sementara kelebihan untuk perusahaan, lebih pada efisiensi dan penekanan biaya operasional. Selain itu, citra perusahaan akan jadi lebih baik karena memberikan waktu lebih kepada karyawan berkumpul bersama keluarganya.

“Perusahaan punya citra ramah kepada keluarga dan karyawan tidak stress. Kalau dari banyak penelitian, sisi produktifitas meningkat maka perusahaan juga untung,” ungkapnya.

Namun, kata Marliana, tidak semua bidang pekerjaan bisa diatur se-fleksibel mungkin jam kerjanya. Dia mencontohkan bidang kerja yang bisa fleksibel, antara yang berkaitan dengan desain, software, progaming, dan penulis kreatif/jurnalis.

“Sedangkan yang tidak bisa fleksibel seperti customer service atau yang berhubungan dengan pelayanan, hingga buruh pabrik atau yang butuh tenaga fisik,” jelasnya.

Adapun penerapan jam kerja fleksibel juga punya kekurangan untuk karyawan. Selain berpotensi kesulitan menentukan agenda kerja seperti rapat, karyawan juga harus siap dihubungi sewaktu-waktu oleh perusahaan (on call).

Meski demikian, Dosen WM Surabaya itu juga tidak memungkiri kalau masih ada pimpinan dari generasi X yang tidak menyukai tren jam kerja fleksibel. Tapi, lanjutnya, karena saat ini masuk era milenial, diharapkan agar bisa segera disesuaikan.

“Dari sisi penelitian, fleksibilitas akan membuat mereka bisa bertambah loyal karena dapat waktu untuk keluarga dan menikmati hobinya. Tapi di sisi lain, karena fleksibilitas bisa membuat mereka dapat job lain yang akhirnya bikin tidak loyal. Jadi semua sebenarnya memang tergantung orang dan lingkungan kerjanya,” pungkasnya.

Sebagai informasi, dari hasil polling Suara Surabaya Media, Kamis (4/5/2023), mayoritas pemilih beranggapan tren jam kerja fleksibel lebih meningkatkan produktifitas.

Dari diskusi di program Wawasan, data pendengar yang mengudara maupun hanya terdata di gate keeper, sebanyak sembilan dari 16 pendengar (56 persen) memilih tren jam kerja fleksibel membuat lebih produktif. Sementara tujuh pendengar lainnya (44 persen), menganggap tren tersebut mengurangi produktifitas kerja.

Demikian di instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 160 dari total 282 responden (70 persen) memilih fleksibilitas menambah produktifitas kerja. Sedangkan, 68 responden sisanya (30 persen) menganggap tren tersebut mengurangi produktifitas kerja. (bil/rst)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Sabtu, 18 Mei 2024
31o
Kurs