Sabtu, 5 Oktober 2024

Putusan MK soal Ambang Batas Menekan Munculnya Fenomena Calon Tunggal di Pilkada

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Siti Zuhro Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Prof. Siti Zuhro Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, fenomena maraknya calon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada 2024, tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga sudah terjadi pada Pilkada sebelumnya.

Sekadar diketahui, pada Pilkada 2024 terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal. Terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten dan lima kota.

“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas itu sebenarnya melegakan dan mengurangi calon tunggal, meskipun masih ada sekitar 40-an yang melawan kotak kosong. Saya pastikan jumlahnya akan melonjak tajam, kalau tidak ada amar putusan tersebut,” kata Siti Zuhro, Rabu (11/9/2024) sore.

Dalam diskusi daring dengan tema ‘Fenomena Pilkada 2024; Bersama atau Melawan Kotak Kosong?’ Siti Zuhro mengungkapkan, hal itu terjadi karena adanya himbauan koalisi besar di tingkat provinsi, kabupaten/kota dari elite partai politik (parpol) ditingkat nasional.

Tentu saja hal ini menjadi ironi, bahkan anomali dalam demokrasi Indonesia yang multi partai. Dimana semua parpol justru bergabung dalam satu koalisi besar atau gemuk, karena adanya kepentingan pragmatis yang sama.

“Itu bisa kita lihat di Pilkada Jawa Timur dan Jakarta, dimana sebagian besar parpol mengusung Ibu Khofifah dan Pak Ridwan Kamil. Kalau yang memenuhi ambang batas, bisa mencalonkan, tapi kalau tidak bisa, maka akan melawan kotak kosong,” katanya.

Situasi memprihatinkan ini, menurut dia, merupakan dampak dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), serta berlanjut di Pilkada sekarang.

“Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” katanya.

Padahal, kata Siti, demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman yang cukup serius, karena Pilkada 2024 tidak menghasilkan kompetisi dan calon yang layak. Ada kecenderungan untuk aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik.

“Ini semacam warning terhadap kualitas demokrasi kita, demokrasi kita semakin mundur. Pembenahannya harus dimulai dari partai politik itu sendiri, ” tandas Peneliti Utama BRIN ini.

Siti Zuhro berpendapat, keberadaan sistem multi partai seperti sekarang, perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan, karena menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

“Kita harus mendorong perbaikan Paket Undang-undang (UU) Politik, karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspon partai politik dan dipayungi undang-undang,” katanya.

Paket UU Politik saat ini, menurutnya, perlu dilakukan reformasi total agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural. Yakni antara lain dengan merevisi UU Parpol, UU Pilpres, UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), UU Pemilu dan UU Pilkada.

“Kita ini mau take off menjadi negara yang kokoh, Indonesia Emas 2045. Maka harus dimulai sekarang agar kita tidak gagal, sehingga perlu ada kompetisi. Tetapi kompetisi sekarang ini, kelihatan hambar,” paparnya.

“Masa sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalahpun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,” tegas Siti Zuhro. (faz/ham)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Kecelakaan Mobil Box di KM 12 Tol Waru-Gunungsari

Pipa PDAM Bocor, Lalu Lintas di Jalan Wonokromo Macet

Surabaya
Sabtu, 5 Oktober 2024
30o
Kurs