Kamis, 17 Juli 2025

TikTok Minta Platform Digital Tak Diatur dalam RUU Penyiaran

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi: Logo TikTok terlihat terpampang di layar ponsel pintar di saku celana jins. Foto: SOPA Images/LightRocket

TikTok Indonesia meminta platform digital berbasis konten buatan pengguna, atau user generated content (UGC), tak diatur dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

“Tidak dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional,” kata Hilmi Adrianto Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Google, YouTube, Meta, dan TikTok pada Selasa (15/7/2025).

Menurut Hilmi, platform UGC sebaiknya tidak diatur dalam regulasi yang sama dengan lembaga penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum.

“Kami merekomendasikan agar platform UGC tetap diatur dalam kerangka moderasi yang telah ada di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Digital,” ucapnya dilansir dari Antara.

Ia juga menekankan pihaknya tidak merekomendasikan pendekatan regulasi yang menyasar satu untuk semua, baik itu penyiaran konvensional, layanan over the top (OTT), dan platform UGC dalam satu produk undang-undang sebab masing-masing memiliki model bisnis dan kerangka tata kelola konten yang berbeda secara fundamental.

Di awal, ia menjelaskan bahwa platform UGC memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional.

Dari sisi pembuatan dan pengendalian terhadap isi konten, dia menerangkan bahwa konten platform UGC seperti TikTok dibuat dan diunggah oleh pengguna individu maupun bisnis.

“Sebaliknya, lembaga penyiaran tradisional maupun juga platform seperti OTT menyediakan konten yang diproduksi atau diunggah langsung oleh platform,” katanya.

Ada pun dari sisi model bisnis dan partisipasi pengguna, lanjut dia, platform UGC didorong oleh partisipasi aktif dari pengguna dan akses terbuka untuk publik, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan kreator.

Sedangkan, menurut dia, lembaga penyiaran tradisional berfokus pada konsumsi pasif dengan akses terbatas pada produser konten profesional dan pemegang lisensi.

Kemudian dari sisi volume konten dan pengawasan, berapapun konten bisa diunggah oleh pengguna setiap waktu pada platform UGC.

Namun, dia menyebut konten yang melanggar secara proaktif akan dideteksi dan dihapus melalui proses moderasi yang ketat dengan kombinasi teknologi dan manusia.

“Sedangkan di lembaga penyiaran tradisional memiliki jumlah konten yang terbatas, terjadwal, dan kurasi sehingga moderasi konten dapat dilakukan secara kuratif karena semua materi dapat ditinjau, diedit, dan disetujui terlebih dahulu sebelum disiarkan ke publik,” ujarnya.

Meski demikian, dia mengaku pihaknya terbuka untuk berdialog atau berdiskusi apabila ada aturan yang dirasa memang diperlukan untuk membuat ekosistem platform digital berbasis UGC bisa diatur dengan lebih baik lagi.

“Kami bersedia untuk diatur, namun memang seperti rekomendasi yang tadi disampaikan secara aturan tersebut sebaiknya terpisah dengan penyiaran ” tegasnya.

Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI. (ant/saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Kamis, 17 Juli 2025
29o
Kurs