Kamis, 25 April 2024

INDEF: Diversifikasi Ekspor Diperlukan untuk Mengantisipasi Resesi Global

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Grafik perkembangan nilai ekspor November 2022 mencapai USD 1,97 miliar (naik 2,01 persen) dibanding Oktober 2022. Foto: BPS

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengatakan, Indonesia masuk ke dalam kelompok negara yang memiliki resiliensi terhadap ketidakpastian ekonomi global.

Salah satu faktor yang membuatnya yakin, Indonesia tidak terlalu bergantung pada kontribusi ekspor terhadap ekonomi negara.

Di sisi lain, Airlangga menyebut pertumbuhan ekspor dan impor tahun ini akan turun. Tahun 2023, ekspor diproyeksikan hanya tumbuh 12,8 persen dan impor 14,9 persen.

“Padahal, tahun 2022 ekspor tumbuh mencapai 29,4 persen, dan impor tumbuh 25,37 persen. Itu terjadi karena basisnya sudah tinggi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Merespons itu, Andry Satrio Nugroho Head of Center of Industry, Trade, and Investment dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan Pemerintah perlu mendorong diversifikasi produk berorientasi ekspor.

Menurutnya, sekarang Indonesia masih banyak bergantung pada ekspor komoditas. Makanya, perlu ada perubahan struktur ekspor melalui diversifikasi produk dan peningkatan nilai tambah.

“Tentu yang kita dorong saat ini adalah melakukan diversifikasi produk ekspor. Sehingga, kita tidak hanya mengandalkan dari ekspor komoditas. Selama ini, kita masih mengandalkan ekspor barang mentah dan juga komoditas, yang dari segi nilai tambah juga rendah,” katanya, Kamis (12/1/2023).

Andry melanjutkan, industri dalam negeri juga masih belum optimal dalam keterkaitan dengan rantai nilai global (global value chains/GVC).

GVC adalah jaringan tahapan produksi barang dan jasa dari desain produk hingga distribusi barang ke konsumen akhir yang diproduksi dan dirakit di berbagai negara.

“Hal itu didorong kondisi industri kita saat ini di mana industri yang masih minim keterkaitannya dengan global value chains,” ucapnya.

Walau begitu, Andry mengatakan konsumsi dalam negeri masih sangat signifikan menopang ekonomi nasional. Itu berbeda dengan negara-negara lain yang masih mengandalkan sektor perdagangan ekspor dan impor dalam perekonomian.

“Kita lihat kalau misalnya ke depan ekspor kita turun apalagi dari segi produk-produk jadi, tentunya dampak secara agregat terhadap perekonomian tidak terlalu besar. Kenapa? Karena PDB kita masih didominasi oleh sektor konsumsi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Andry menilai perjanjian kerja sama dagang dengan sejumlah negara juga patut ditingkatkan karena kondisi ekonomi global juga sedang tidak stabil.

“Yang kedua adalah bagaimana kita bisa melakukan perjanjian kerja sama perdagangan yang cukup masif dan menjaga stabilitas perdagangan dengan negara luar,” tegasnya.

Selain itu, langkah yang bisa ditempuh Pemerintah kata Andry adalah meningkatkan kapasitas intelijen pasar. Kondisi pasar yang tidak stabil membutuhkan bukan sekadar prediksi, melainkan juga kekuatan agar market yang ada di luar bisa dipenuhi produk-produk dari Indonesia.

“Jadi, kita bisa melakukan kegiatan intelijen pasar di negara luar. Sehingga, kita bisa mendapatkan setidaknya gambaran apa yang perlu kita dorong atau apa yang perlu kita kembangkan di industri domestik,” pungkasnya.

Sementara itu, Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif CELIOS menyarankan Pemerintah melakukan sejumlah kebijakan untuk mendorong ekspor tetap kompetitif.

“Solusinya, mendorong kenaikan ekspor barang jadi bernilai tambah bukan lagi olahan primer. Porsi ekspor hitech terhadap total manufaktur sebaiknya ditingkatkan. Itu butuh program industrialisasi secara masif,” katanya.

Salah satu komoditas yang bisa didorong, sebut Bhima, adalah CPO, yang turunannya banyak dipakai untuk kosmetik.

“Misalnya CPO diekspor sudah dalam bentuk kosmetik. Apalagi ada lipstick effect di mana saat resesi permintaan kosmetik secara historis meningkat. Produk kosmetik membutuhkan bahan baku oleokimia yang berasal dari produk turunan sawit,” imbuhnya.

Untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi, tentunya tidak bisa dilakukan hanya pengusaha saja. Industrialisasi butuh dukungan dari berbagai pihak.

“Proses industrialisasi butuh dukungan pembiayaan murah, insentif pajak yang tepat sasaran dan kolaborasi swasta dengan BUMN,” tandasnya.(rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
27o
Kurs