Jumat, 29 Maret 2024

Paradigma di Masyarakat Membuat Korban Pelecehan Seksual Anak Takut Speak Up

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi - Pelecehan seksual terhadap anak. Foto: shutterstock Ilustrasi - Pelecehan seksual terhadap anak. Foto: shutterstock

Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jawa Timur menurut Edward Dewaruci S.H, Pembina Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, fenomenanya sama seperti gunung es di mana jumlah kasus yang terungkap tidak sebanyak dengan realita di lapangan.

“Problem budaya, paradigma serta lingkungan masyarakat mengganggap kasus tersebut menjadi hal yang tidak pantas untuk dibicarakan. Akan tetapi secara penegakan hukum harus ditempuh. Jika hal tersebut terhambat diusut karena problem budaya, anak-anak yang menjadi korban akan lebih banyak,” ujarnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Selasa (12/7/2022).

Ia menjelaskan, selama ini setiap anak mempunyai proses menunggu untuk bisa berani bicara dan melaporkan kejadian yang dialami. Di sinilah dibutuhkan kepekaan orang tua untuk mengetahui perubahan situasi dan perilaku pada anak.

Salah satu hak dasar anak, kata Edward, adalah hak partisipasi. Mereka boleh mengungkap pikiran dan pendapat yang harus dihargai oleh orang yang lebih dewasa. Tapi di Indonesia, aplikasi  hak tersebut tidak sebaik seperti negara lainnya yang lebih maju.

“Hal itulah yang membuat anak-anak merasa tidak dipercaya, seperti kesempatan berekspresi yang tidak ada penghargaan. Tapi jika hak tersebut dimunculkan, kedekatan dan kemudahan berkomunikasi dengan anak menjadi lancar,” jelasnya.

Dalam benak orang tua harus muncul kesadaran dan pemahaman bahwa melindungi dan menyadari bahwa anak adalah suatu anugerah.

“Makanya, kasus yang melibatkan orang terdekatnya, hukumannya lebih berat. Seperti 10 tahun menjadi 30 tahun. Tapi kalau hal tersebut masih tidak membuat efek jera pelaku, dan mengganggap masih subordinas dari penegakan hukum lain, berarti pemberdayan anak terhadap sistem hukum juga menjadi pemicu anak tidak berani melapor,” jelas Edward.

“Yang menyedihkan adalah, proses kasus yang diselesaikan secara kekeluargaan, di mana anak menjadi korban dua kali. Seperti korban yang dinikahkan dengan si pelaku, yang membuat korbannya menjadi tertekan,” tambahnya.

Sementara menurut Ersa Lanang Sanjaya Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Ciputra, dalam kejadian pelecehan seksual yang menimpa anak umumnya disebabkan minimnya sex education dari orang tua.

“Ada anak yang merasa tidak tahu kalau dirinya dilecehkan. Yang pertama kali harus disampaikan ke anak oleh orang tua adalah tentang pelajaran seks. Anatomi tubuhnya mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain,” ujarnya.

Orang tua juga kerap salah kaprah bahwa seks adalah perkara hubungan badan. Padahal edukasi seksual jauh lebih besar dari hal tersebut.

Pengetahuan seks yang memadai, kata Ersa, akan membuat anak tahu apa yang harus diperbuat ketika terjadi hal-hal darurat.

“Anak harus tahu mana tubuh yang boleh dipegang dan tidak. Mana yang sopan dan tidak. Dengan begitu anak jadi tahu apa yang harus dilakukan ketika mendapat perlakuan yang tidak sesuai,” pungkasnya.(des/dfn/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
27o
Kurs