Selasa, 19 Maret 2024

Anis Matta: 24 Tahun Reformasi Belum Selesai

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Anis Matta Ketua Umum Partai Gelora Indonesia. Foto: Faiz Fadjarudin

Anis Matta Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai dalam perjalanan 24 tahun reformasi. Bahkan, dia menilai masih ada cukup banyak yang tidak sesuai harapan.

Sehingga, memunculkan rasa penyesalan dari para pelaku sejarah reformasi atau tokoh reformasi seperti Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah yang sudah menumbangkan rezim Orde Baru dan melahirkan beberapa presiden.

Karena, perubahan yang mereka perjuangkan, ternyata tidak bisa dikontrol dan dikendalikan.

“Saya kira, saya telah berhasil membuat tokoh reformasi ini menyampaikan penyesalannya dengan baik. Yang mereka sesali adalah satu hal yang sama, bahwa reformasi belum selesai,” kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talk bertajuk ’24 Tahun Reformasi, Sudah Sampai di Mana dan Mau Ke Mana Indonesia? yang digelar secara daring, Rabu (25/5/2022) sore.

Dalam forum itu, Anis Matta meminta Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah untuk curhat dengan mimpi mereka sebagai seorang aktivis yang belum terealisasi atau belum menjadi kenyataan selama hampir seperempat abad reformasi.

“Saya ingin sedikit meminta komentar mereka berdua yang bisa personal, khususnya Mas Budiman Sujatmiko dan Bung Fahri. Kira-kira apa yang Anda sesali, mimpi apa sebagai aktivis yang belum terealisasi dalam waktu 24 tahun reformasi ini,? tanya Anis Matta kepada mereka berdua.

Menurut Anis Matta, Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah memiliki satu kesamaan, yaitu tidak memiliki ambisi kekuasaan. Sehingga, perubahan yang mereka ciptakan, perjalanan sejarahnya tidak bisa mereka kontrol sesudahnya.

“Itu menyebabkan perubahan yang mereka ciptakan tidak bisa mereka kontrol. Jalannya sejarah sesudahnya tidak seperti yang ada dalam rencana mereka. Sehingga, banyak pekerjaan rumah yang belum selesai,” katanya.

Karena itu, Anis Matta berharap agar para calon presiden (capres) yang akan maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berasal dari tokoh-tokoh reformasi supaya agenda pekerjaan rumah reformasi bisa dituntaskan.

“Bisakah kita berharap tahun depan itu sekaligus para capres yang akan maju untuk Pemilu 24 datangnya dari tokoh-tokoh reformasi, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai,” ujar Anis Matta.

Sebab, cita-cita reformasi pada dasarnya adalah pintu gerbang untuk menciptakan kesejahteraan, bukan hanya demokrasi saja, meskivpun keduanya bisa berdiri sendiri.

“Tapi, mimpi reformasi pada mulanya adalah menciptakan satu sintesa di mana demokrasi dan kesejahteraan bisa bertemu pada suatu titik dalam perjalanan sejarah kita,” katanya.

Hal itu seperti yang terjadi pada sintesa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Orla dikatakan memiliki kebebasan, tapi tidak ada kesejahteraan, sementara saat Orba ada kesejahteraan, tapi tidak ada kebebasan.

“Makanya saya membuat perumpamaan, Indonesia itu seperti burung. Dia disebut burung kalau dia bisa terbang dan berkicau. Tapi kalau kalau dia lapar, dia tidak bisa terbang dan bisa berkicau saja, itu namanya burung dalam sangkar. Itu ada lagunya,” kata Anis Matta sambil berseloroh.

Indonesia, sambung Anis Matta, seperti burung yang sudah bisa terbang, tapi tidak terlalu lapar. Sehingga, terbangnya rendah, tidak begitu tinggi, padahal langitnya sangat tinggi.

“Jadi, lahirnya Partai Gelora sebenarnya, karena cita-cita reformasi yang ingin menjadikan Indonesia terbang tinggi. Sekarang sudah terbang, tapi terbangnya tidak terlalu tinggi, sementara langit Indonesia ini terlalu tinggi,” ucapnya lagi.

Ketua Umum Partai Gelora juga berharap para aktivis reformasi bisa mencari ilham dari kisah Nabi Yusuf, yang menafsirkan mimpi Raja Mesir.

“Nabi Yusuf meramalkan akan ada krisis yang terjadi di Mesir seperti yang dimimpikan Raja Mesir. Dia tahu bagaimana mengatasi krisis, tapi dia meminta dijadikan penguasa dan sebagai bendahara keuangan negara agar bisa mengambil alih situasi krisis,” katanya.

Makna yang terkandung dari kisah tersebut, adalah para aktivis reformasi harus terjun untuk mengejar kekuasaan agar bisa melakukan perubahan dan menuntaskan agenda reformasi yang belum selesai, tidak sekadar mengedepankan intelektualitas.

“Kita harus pertemukan semangat perubahan yang ada pada para aktivis intelektual ini, dengan semangat pengambilalihan situasi krisis tersebut. Syahwat kekuasaan mereka saat ini kecil, sehingga tidak bisa mengendalikan jalannya sejarah reformasi,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Budiman Sudjatmiko politisi dan aktivis demokrasi menegaskan, dirinya tidak memiliki ambisi untuk mengejar kekuasaan di eksekutif. Ia mengaku sudah puas menjadi Anggota DPR di lembaga legislatif.

“Kalau ada yang saya sesali selama 24 tahun reformasi ini, karena secara pribadi, saya tidak punya ambisi perebutan kekuasaan atau kekuasaan eksekutif. Itu saya sadari, hanya puas di legislatif,” katanya.

Mantan Anggota DPR dari PDIP itu mengatakan, penyesalan itu baru dia sadari sekarang ini, setelah 24 tahun reformasi, ternyata banyak agenda yang belum selesai dan tidak seusai dengan harapan seperti yang dicita-citakan reformasi.

“Jadi, setelah 24 tahun reformasi, kita akan lebih menyesal lagi dari apa yang tidak bisa kita lakukan sekarang. Sehingga perlu dorongan lebih kuat lagi supaya jelang 25 tahun reformasi, Indonesia punya lompatan yang lebih jauh lagi dalam pencapaian,” katanya.

Untuk memimpin lompatan tersebut, kata Budiman, harus dipimpin oleh orang-orang yang dulu berjuang pada tahun 1998.

“Sekarang Bangsa Indonesia jelang 25 tahun hidup di sistem demokrasi. Kira-kira ada tidak, lompatan kualitatif yang bisa kita dorong lebih kencang lagi?” ucapnya.

Dia menyadari Indonesia saat ini, banyak kemajuan, tapi kamajuannya masih belum signifikan.

“Rasanya bisa digas, digas lagi deh, dan rasa-rasanya untuk bisa ngegas jalannya reformasi ini, syarat utama adalah seharusnya orang seperti teman aktivis (1998) untuk jadi garda depan untuk ngegas. Agar bisa keluar dari quarter life crisis kehidupan 24 tahun Idonesia pascareformasi,” ujarnya.

Dengan melihat kondisi sekarang, Budiman merasa adanya suatu energi, tujuan, dan semangat bersama yang sama seperti pada tahun 1998. Namun, yang berbeda dari 24 tahun lalu adalah cakupan dari isi dan konten.

“Menuju lompatan yang lebih jauh ini merupakan pekerjaan rumah tangga untuk satu tahun ke depan agar kelak saat 25 tahun usia reformasi, Indonesia sudah bisa mendapat skor yang jauh lebih positif lagi,” katanya.

Budiman Sudjatmiko mengatakan narasi besar yang dirasa cocok dengan semangat zaman sekarang ini adalah narasi kemajuan.

“Kalau tahun 98 itu adalah narasi kebebasan, kemudian setelah kebebasan saya ingin mendorong narasi kesetaraan dan keadilaan. Sekarang kita harus mendorong narasi kemajuan,” ujarnya.

Sementara Fahri Hamzah Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 mengatakan, dia tidak terlalu memusingkan rasa penyesalan secara personal terhadap agenda reformasi yang belum selesai.

“Kita nggak boleh mengambil itu terlalu personal, tapi hanya sebagai sebuah kritik. Kita memang tidak memiliki sebuah desain tentang reformasi, tapi tahu-tahu mendadak kita masuk dalam revolusi perubahan itu,” kata Fahri.

Reformasi ketika itu, sambung Fahri, hanya dibaca sebagai ekspresi rasa kebosanan dari rezim Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, yang menginginkan kebebasan dan kemapanan.

“Nafasnya zaman itu, orang sudah bosan, makanya ketika Soeharto mengundurkan diri, rakyat pesta, banyak yang potong ayam dan sapi, begitulah ekspresinya. Tidak punya ide atau gagasan,” ungkap Fahri.

Padahal ekspresi kebosanan ini, bisa sangat berbahaya bagi sistem ketatenagaran dan perpolitikan kita, apabila tidak diatur secara tegas. Rakyat bisa menjatuhkan Presidennya sewaktu-waktu jika sudah bosan, sehingga ketika reformasi masalah pembatasan jabatan Presiden diatur.

“Kalau masa jabatan Presiden tidak dibatasi, ketika kebosanan rakyat ini datang tiba-tiba itu yang berbahaya. Kalau orang sudah bosan pokoknya, susah dilawan. Itulah problem kita, karena kita tidak punya narasi,” kata dia.

Karena itu, Fahri mengkritik Adian Yunus Yusak Napitupulu mantan aktivis reformasi yang kini menjadi Anggota DPR dari PDIP, yang menolak BJ Habibie sebagai Presiden menggantikan Soehato, karena dianggap kaki tangan Soeharto dan Orba.

“Saya dulu bentrok dengan temen-temennya Mas Budiman Sudjatmiko, termasuk Mas Adian Napitupulu. Kenapa BJ Habibie ketika jadi Presiden, teman-teman mahasiswa tidak mengambil sedikit momen untuk membaca sejarah bahwa BJ Habibie ini, manusia yang lain. Dia datang membawa gagasan lain dalam negara, meskipun dia berada di bawah kekuasan Orde Baru. Dia ini orang Jerman, punya pikiran Eropa tentang konsep demokrasi,” jelasnya.

Habibie ini, menurut Fahri, memiliki pespektif lain dalam berbangsa dan bernegara. Dia justru disalahkan gara-gara membela Habibie, padahal dia melihat Presiden RI ke-3 itu, memiliki konsep arsitektur bangunan sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.

“Jadi sebagai bangsa kita punya problem itu. Kita selalu lebih tertarik kepada orang, daripada pada gagasannya. Habibie dianggap dari bagian dari Soeharto yang harus diturunkan dan dihancurkan,” paparnya.

Reformasi yang telah berjalan 24 tahun ini, menurutnya, tidak memiliki bangunan arsitektur dari perubahannya, hanya sekedar mengakomodasi tuntutan mahasiswa seperti amandemen konstitusi, penghapusan Dwifungsi ABRI dan Otonomi Daerah.

“Setelah 24 tahun reformasi, kalau kita mau mengevaluasi, maka bangunan pemerintahan itu harus memiliki fondasi dan narasi yang kuat agar bisa dipertahankan,” katanya.

Sebab, gagasan yang diletakkan sebagai fondasi bangunan yang solid akan memelihara kebebasan dari sistem tersebut.

“Makanya kita tidak punya masalah dengan para pemimpin, termasuk dengan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) karena sudah dipilih rakyat, ya harus diterima,” ungkapnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini mengkritik Jokowi, karena dinilai ingin mengembangkan narasi kemajuan dengan mencontoh negara totaliter seperti China, bukan negara demokrasi.

“Kita menginginkan antara demokrasi dan kesejahteraan harus jalan bersama-sama,” ujarnya.

Terakhir, adalah penyerdehanaan pola keterpilihan pemimpin politik, jauh dari rekayasa politik. Karena saat ini, lanjutnya, muncul begitu banyak pemimpin yang didukung oligarki dan uang, padahal tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.

“Tiba-tiba balihonya muncul di mana-mana, karena dia punya uang, ini tidak fair. Sistem kita masih memfasilitasi kemewahan uang ini untuk memimpin, bukan kemewahan gagasan. Kalau orang seperti Mas Budiman Sujadmiko menjadi Presiden saya rela, tapi ini karena dia sekolah di luar negeri, punya uang banyak, menggunakan faslitas negara untuk populer, kita tolak karena orang seperti ini tidak punya gagasan,” tegasnya.

Sedangkan Muhammad Ryano Panjaitan Ketua Umum Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) meminta agar para aktivis reformasi tidak terjebak pada rasa penyesalan, karena akan membawa dampak pafa generasi berikutnya.

“Kita tidak perlu terjebak di dalam penyesalan, tapi kita perlu mengawasi kinerja pemerintahan agar kebijakan-kebijakan yang dilahirkan sesuai amanat reformasi,” kata Ryano Panjaitan.

Ia berharap semua pihak tidak berorientasi hanya kepada kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga harus mendukung program-program investasi dan entrepreneur.

“Jadi narasi baru kita, adalah menciptakan aktivis enterpreneur yang jiwa kemandirian jiwa, kreativitas dan inovatif. Negara dikatakan maju, karena memiliki banyak entrepeneur, dan pemerintah perlu menggalakkan program entrepreneur ini,” tegasnya.(faz/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 19 Maret 2024
32o
Kurs