Kamis, 2 Mei 2024

BRIN: Dinasti Politik Berpotensi Jadi Persoalan di Negara Berkembang

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi Pemilihan Presiden 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Prof. Lili Romli Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, dinasti politik yang membajak dan membonsai demokrasi menjadi persoalan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Menurutnya, banyak kasus di Indonesia karena demokrasi elektoral hanya sekadar formalitas, di mana semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi.

Parahnya lagi, dinasti politik juga berpotensi menguasai sumber daya ekonomi, dan mengingkatkan tren korupsi.

“Dinasti politik saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game. Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka ada kecenderungan koruptif,” ujarnya di Jakarta, Senin (6/11/2023).

Di negara-negara maju, lanjut Lili, ada politik dinasti yang melalui proses dan prosedur demokrasi, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu pengkaderan serta rekrutmen politik seperti kader partai yang lain.

“Artinya, tidak tiba-tiba berkuasa. Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapabilitas yang baik. Sehingga, ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, hukumannya publik tidak akan memilihnya kembali,” tambahnya.

Kalau dinasti politik berlanjut, Lili menyebut bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang.

“Untuk proyeksi ke depan, jika dinasti politik tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam. Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” katanya.

Sementara itu, Profesor Kacung Marijan Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga berpendapat, subur tidaknya politik dinasti tergantung mekanisme kontrol.

“Kontrolnya bisa dua. Pertama di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat menganggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya,” ucapnya.

Tapi, dia mengatakan masih ada kesempatan di tahap kedua setelah pemilihan.

“Ketika calonnya itu sudah terpilih, penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari dengan DPR yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN dan kebijakan kemerintah. Kalau DPR kuat, seharusnya lebih kuat mengontrol pemerintah,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Prof Kacung menegaskan, dinasti politik terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis.

“Proses rekrutmen dinasti politik itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal itu terlihat di sejumlah daerah. Misalnya, setelah menjabat kepala daerah, istri atau anaknya yang menggantikan dan seterusnya,” jelasnya.

Dia mengungkapkan di beberapa daerah Indonesia ada contoh dinasti politik. Misalnya, di Banyuwangi, Bupati Azwar Anas digantikan istrinya.

“Sejauh ini jalannya pemerintahan istrinya Pak Anas itu baik. Sementara contoh yang buruk adalah di Bogor. Bupati Bogor pernah digantikan adiknya, dan dua-duanya tersangka korupsi,” tuturnya.

Sementara itu, politik dinasti di tingkat nasional terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo Presiden. Gibran Rakabuming Raka putra sulungnya terjun ke dunia politik menjadi Wali Kota Solo, dan sekarang jadi cawapresnya Prabowo Subianto.

Bobby Nasution menantunya Wali Kota Medan, dan Kaesang Pangarep anak bungsu Jokowi langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Lalu, Anwar Usman Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) adik ipar Jokowi meloloskan sebagian gugatan batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Kamis, 2 Mei 2024
26o
Kurs