Minggu, 5 Mei 2024

Pakar HTN: Etika Politik Penting dalam Proses Membangun Peradaban Politik

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Bivitri Susanti pakar hukum tata negara (tengah) dalam diskusi membahas Oligarki dan Dinasti POLITIK di Jakarta, Selasa (14/11/2023). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Bivitri Susanti Pakar Hukum Tata Negara mengatakan banyak pihak yang mendorongnya untuk beralih (move on) dari persoalan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Tapi, Bivitri menolak karena menurutnya putusan tersebut bukan sekadar persoalan hukum, melainkan keadilan.

“Bagi kami ini bukan soal hukum belaka. Tapi, di sini ada keadilan yang sedang diinjak-injak. Kalau pun hukum belum begitu responsif seperti yang kita inginkan, bukan berarti keadilan kita lupakan,” ujarnya di Jakarta, dalam diskusi Etika Penyelenggara Negara: Belajar dari Para Pendiri Bangsa, Rabu (22/11/2023).

Ketika Bangsa Indonesia ingin membangun peradaban politik, sambung Bivitri, maka harus berpegang pada etika politik.

“Kalau kita mau membangun peradaban politik, sebenarnya sesuatu yang melampaui hukum tertulis yaitu etika politik dan gagasan konstitusionalitas,” tambahnya.

Putusan MK yang dalam prosesnya ada pelanggaran etik berat, sambungnya, punya dampak sangat luas, bukan hanya merusak tatanan hukum.

“Itu kan sebenarnya ada kerusakan parah yang ditimbulkan. Merusak MK pastinya. Itu artinya merusak bangunan negara hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, Bivitri juga menyoroti Anwar Usman yang tidak merasa bersalah dalam proses putusan tersebut, bahkan menggugat pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.

“Artinya, dia benar-benar tidak merasa bersalah. Padahal MKMK putuskan pelanggaran etika berat,” katanya.

Demokrasi Indonesia dikhawatirkan akan mundur karena tragedi konstitusi. Lebih parahnya, generasi masa depan menganggap pelanggaran etik dapat diterima asal tidak melanggar aturan.

“Akibatnya, nanti Indonesia tidak akan maju. Karena pemimpin yang dipilih bukan karena kemampuan, tapi karena hubungan kekerabatan.Yang paling parah demokrasi kita mundur karena cara berpolitik yang kotor. Karena kenormalan baru, adik-adik, anak cucu kita generasi masa depan akan bilang tidak ada yang salah dengan nepotisme, tidak ada yang salah dengan politik dinasti,” pungkasnya.

Sebelumnya, Herzaky Mahendra Putra Wakil Komandan Komunikasi Tim Kampanye Nasional atau TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membantah anggapan Gibran merupakan calon wakil presiden atau cawapres cacat hukum.

Pelanggaran etik para hakim, kata Herzaky, tidak serta-merta membatalkan putusan MK. Dia mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan MKMK mengajuan permohonan uji materi untuk mengadili norma baru.

Sementara itu, Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani mengungkapkan pentingnya menempatkan moralitas di atas aturan. Dia menggunakan istilah halal (boleh) dan baik (thayib).

“Saya kira peristiwa MK kemarin itu menunjukkan pada kita setelah ditemukan peristiwa yang kemudian dinyatakan melanggar kode etik berat. Tapi, tetap saja banyak orang bilang aturannya tidak batal. Tentu secara legal formal tidak batal , tapi secara moral aturan itu tidak layak untuk dilaksanakan,” ucapnya

Proses berdemokrasi, imbuh Ray, sepatutnya mengutamakan moralitas, bukan mandek pada aturan.

“Jadi, di atas boleh dan tidak boleh, itu mestinya baik dan tidak baik,” tegasnya.

Di sisi lain, Ray juga menyoroti dinasti politik yang dinilai menjadi salah satu penyebab suburnya korupsi.

“Salah satu cara untuk menurunkan korupsi adalah dengan menafikan dinasti politik,” tambahnya.

Dia menyebut tidak ada manfaat dari dinasti politik selain maraknya korupsi dan nepotisme.

“Apa yang kita dapatkan dari dinasti politik? Tidak ada, kecuali beberapa di antara mereka diciduk KPK karena korupsi,” sebutnya.

Begitu juga dengan politik dinasti. Secara aturan tidak melanggar, namun harus dihindari demi kebaikan bersama.

“Kita harus tolak politik dinasti. Sekali pun secara legal formal dia ada, tapi secara moral, kemanfaatan, sama sekali tidak ada,” timpalnya.

Semangat reformasi menggariskan agar Bangsa Indonesia bisa keluar dari segala masalah dengan menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“Itulah mengapa sejak dari reformasi kita menempatkan poin Tolak KKN, Karena penyakit KKN akan betul-betul membuat Indonesia sulit mencapai tujuan yaitu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sayangnya, para pemimpin dan elite masih suka berada di level aturan, belum menyentuh fatsun demokrasi, keadaban demokrasi, etik demokrasi,” tutupnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Minggu, 5 Mei 2024
26o
Kurs