Sabtu, 4 Mei 2024

Pengamat Politik Nilai Perlu Ada Simbol Gerakan Rakyat Tolak Kecurangan Pemilu 2024

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hendri Satrio pengamat politik (pegang mic) dalam konferensi pers dan diskusi media bertajuk Perusakan Baliho Ganjar di Sumut, yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud, di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/11/2023). Foto : istimewa

Hendri Satrio, pengamat politik mengaku dirinya agak sulit mengharapkan netralitas aparat negara apabila melihat salah satu kandidat pilpres nya adalah anak presiden yang sedang berkuasa saat ini.

“Kita harus siap-siap kalau pada kenyataannya pemilu 2024 tidak netral. Nanti saya malah diketawain karena berharap harap aparat negara netral. Kalau memang presiden mau netral seharusnya saat makan siang bareng capres, Jokowi berkata kepada Prabowo: Untuk menjaga netralitas saya maka saya tidak izinkan Gibran mendampingi Prabowo dan mempersilakan Prabowo mencari cawapres lain,” kata Hendri Satrio (Hensat) dalam konferensi pers dan diskusi media bertajuk Perusakan Baliho Ganjar di Sumut, yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud, di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/11/2023).

Menurut Hensat, apabila menggunakan analogi sederhana, maka pihak yang melakukan kecurangan itu biasanya adalah pihak yang sebenarnya lemah dan pasti kalah.

“Dia melakukan kecurangan karena tahu dirinya akan kalah sehingga untuk mencapai kemenangan harus lewat jalan curang,” kata pendiri lembaga Survei Kedai Kopi itu.

Hensat mengatakan, sebaliknya apabila ada pihak yang takut terjadinya kecurangan maka biasanya dia adalah pihak yang sebenarnya kuat.

Namun, kata Hensat, kalau pihak yang kuat ternyata takut adanya kecurangan maka ada kemungkinan pihak yang kuat itu tidak tahu bahwa dirinya mempunyai kekuatan. Atau tidak tahu bagaimana menggunakan kekuatannya itu.

Hensat memberikan satu contoh kasus kecurangan pemilu yang pernah terjadi di masa orde baru. Yakni saat pemilu 1992, di mana saat itu pada masa kampanye, ada salah satu parpol yang mendapatkan waktu untuk berkampanye di satu tempat tapi ternyata oleh penguasa izin kampanye di tempat itu dicabut. Sehingga parpol tersebut tidak bisa berkampanye.

“Saat itu ramai teriakan orang orang yang menyuarakan bahwa pemerintah ora adil yang diwujudkan dengan simbol warna putih yang artinya golput,” kata Hensat.

Namun, kata Hensat, untuk kondisi saat ini tidak tepat kalau untuk menyuarakan ketidakadilan dengan mengajak masyarakat untuk golput di pemilu. Justru masyarakat harus menggunakan hak pilihnya agar penguasa yang ingin terus menerus berkuasa tidak menang dalam pemilu.

“Saya sarankan kampanye dengan menggunakan satu simbol warna yang mencerminkan bahwa rakyat tidak menginginkan adanya kecurangan dalam pemilu legislatif dan pilpres 2024,” kata Hensat.

Dalam gerakan massa menolak kecurangan pemilu, kata Hensat, paslon capres dan cawapres yang bisa dirugikan harus melibatkan penguasa negeri ini yaitu mengajak rakyat untuk lantang bersuara tolak kecurangan pemilu 2024.

Menyinggung soal apa bahayanya kalau pemilu berlangsung curang, Hensat menjelaskan, sebetulnya perjuangan reformasi itu pembatasan kekuasaan. Sedangkan yang terjadi saat ini arahnya memang mengarah ke penguasa yang ingin terus menerus berkuasa.

“Ini fenomena nepo baby, di mana anak-anak yang punya privilege mendapatkan akses tanpa melalui sebuah proses. Kondisi ini menurunkan semangat anak-anak muda yang sebetulnya berprestasi dan punya nilai juang proses dalam mencapai satu posisi,” kata Hensat.

Parahnya, kata Hensat, nepo baby ini terjadi di panggung politik nasional Pilpres 2024.

“Saya lebih suka bilang ini anak presiden dan bukan anak berprestasi,” tukas Hensat.

Menurut Hensat, separah-parahnya zaman orde Baru, Soeharto Presiden tidak pernah dan tidak ada satu pun aturan yang dilanggar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan penguasa saat ini yang justru mengubah aturan demi melanggengkan kekuasaannya.

“Yang namanya KKN itu ujung-ujungnya pasti tidak bagus dan justru merusak. Kalau dalam pemilu kali ini orang yang suka mengubah aturan demi kepentingan keluarganya kembali berkuasa maka aturan apa lagi yang mau diubah untuk kepentingan kelompok itu?” ucap Hensat.

Hensat juga mengritisi kenapa pembagian bantuan sosial (bansos) digelontorkan bersamaan dengan pelaksanaan pilpres.

“Parpol harus mengajak rakyat untuk melawan kecurangan pemilu dan pilpres 2024 dengan simbol warna. Sebab bahayanya kecurangan pemilu maka yang terpilih nantinya bukan hasil pilihan rakyat yang sesungguhnya,” kata Hensat.

Dia mengatakan, dalam pelaksanaan pemilu, persoalannya bukan semata soal yang memilih tapi juga pihak yang menghitung perolehan suara. Di sinilah penguasa bisa curang. Kalau curang maka rakyat pastinya akan marah.

“Saya angkat jempol TPN Ganjar-Mahfud yang terus menerus mengangkat suara soal kecurangan pemilu. Bagaimana bangsa kita mau maju kalau terjadi kecurangan pemilu dan menghasilkan pemenang pemilu yang curang,” kata Hensat.

Hensat mengaku, di pilpres kali ini dirinya degdegan, sebab dia membayangkan bagaimana mungkin seorang bapak yang menjabat presiden membiarkan anaknya kalah dalam pilpres.

“Jadi jangan berharap Jokowi akan netral. Tapi kita harus memberikan dukungan ke KPU bahwa KPU dan segenap jajarannya akan baik-baik saja, kalau KPU jujur dan tidak terjadi seperti apa yang terjadi di MK,” pungkas Hensat.(faz)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Sabtu, 4 Mei 2024
30o
Kurs