Minggu, 28 April 2024

Puasa di Amerika, Lita Menangis Saat Rasa Kangen Menghampiri

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Lita Hallarans (berdiri kanan) saat berbuka bersama suami di tengah hutan Quebec, Kanada pada 2015 lalu. Foto: Lita Hallaran via Redaksi

Bulan Suci Ramadhan adalah momen yang paling dinantikan setiap umat Muslim di dunia, termasuk Lita Hallaran perempuan asal Kota Surabaya yang menikah dan menetap di Ohio, Amerika Serikat.

“Berpuasa jauh dari kampung halaman terasa sangat penuh tantangan,” katanya, mengawali cerita pengalamannya melalui surat elektronik, Selasa (28/6/2016).

Bulan Ramadhan tahun kemarin, Lita harus menjalani puasa di tengah hutan Quebec, Kanada dalam rangka camping tahunan bersama keluarga suami untuk menghormati mendiang ayah mertuanya yang dimakamkan di sana.

“Lamanya waktu berpuasa yang mencapai 18 jam, kondisi alam dan minimnya ketersediaan makanan saat itu, menjadi puasa pertama yang paling sulit dalam hidup saya. Meski sulit, dua minggu berpuasa di alam liar Kanada saya jalani secara penuh,” ujarnya.

Berbeda dengan tahun kemarin, puasa tahun ini, Lita dan suami memilih untuk tinggal di rumah di Bedford, Ohio, Amerika Serikat karena memiliki bayi yang baru berusia tiga bulan.

“Jika di Kanada berpuasa terasa seperti terisolasi dari peradaban, berpuasa di Amerika Serikat merupakan hal yang berbeda,” katanya.

Di Amerika, kata Lita, muslim merupakan minoritas, apalagi di kota tempat tinggalnya. Tidak ada suara adzan, apa lagi pengingat waktu sahur.

“Saya harus berjuang mengingatkan diri sendiri setiap kali waktu shalat, selalu cek jadwal shalat waktu setempat karena tinggal di Amerika Serikat, jadwal shalat bisa sangat mudah terlewatkan,” ujarnya.

Menurutnya, berpuasa di Amerika bukan hanya melawan hawa nafsu semata, melainkan juga ujian lain yang harus dihadapi. Di Ohio, lamanya waktu puasa sekitar 17 jam. Ditambah rasa kesepian karena tidak ada teman sesama muslim dan perasaan homesick yang sudah dua tahun jauh dari kampung halaman.

“Saat berbuka seorang diri terkadang rasa kangen berbuka bersama keluarga dan teman-teman menghampiri, atau hal sepele seperti ingin jajanan takjil bisa membuat saya meneteskan air mata.

Tahun ini Lita juga masih belum menemukan komunitas muslim setempat untuk mengobati rasa kangen saya terhadap suasana Islami seperti di kampung halaman.

“Sejauh ini, sahur dan berbuka saya jalani seorang diri karena suami yang bekerja shift kedua harus pulang larut malam tiap harinya. Saya juga harus selalu menyemangati suami yang merupakan mualaf, karena berpuasa selama 17 jam terkadang masih terasa berat bagi dia yang sibuk bekerja di musim panas,” kata Lita.

Musim panas di Ohio bagi Lita yang asli Surabaya terasa normal-normal saja. Namun tidak bagi suami atau sebagian besar keluarganya yang cenderung lebih suka cuaca dingin.

Tantangan lain yang harus mereka hadapi adalah sebagian besar teman-teman non Muslim yang penasaran dan selalu bertanya soal Islam dan apa makna berpuasa. Tinggal di negara yang mayoritas non Muslim, ditambah dengan gencarnya isu-isu terorime benar-benar menguji ketahanan mental dan fisik. “Meskipun begitu, mayoritas keluarga suami yang non Muslim selalu mendukung kami,” ujarnya.

Meski sedang menyusui, sebisa mungkin Lita tetap berpuasa dengan mengandalkan stok ASI di freezer. “Saya menjadi semakin bangga menjadi seorang muslim karena saya merasa lebih kuat dibanding orang-orang sekitar saya. Karena selain perjuangan di jalan Allah, ini semua adalah ujian untuk membuat fisik saya lebih kuat dan mental lebih tegar,” kata Lita.(iss/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Minggu, 28 April 2024
33o
Kurs