Jumat, 3 Mei 2024

Film Bumi Manusia dan Pantulan Sejarah Kota Surabaya

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Cuplikan adegan Bumi Manusia saat Minke (Iqbaal Ramadhan) menaiki kereta api menuju Stasiun Wonokromo. Foto: Youtube/Falcon Picture

Turut meramaikan nuansa kemerdekaan di bulan Agustus, rumah produksi Falcon Picture merilis film bertema sejarah yang paling ditunggu-tunggu pada hari ini, Kamis (15/8/2019). Film ini berjudul Bumi Manusia. Tidak sendiri, Falcon sebenarnya juga merilis film Perburuan, yang juga berangkat dari tema sejarah untuk menjadi ‘teman’ Bumi Manusia di bioskop bulan ini. Tentu bukan suatu kebetulan jika kedua film ini dirilis di hari yang sama dan diangkat dari penulis novel yang sama pula.

Namun dibanding Perburuan, Bumi Manusia sudah sukses mencuri perhatian penikmat sinema Indonesia lebih dulu. Salah satunya karena keberanian Hanung Bramantyo selaku sutradara, untuk mengangkat seri pertama Tetralogi Pulau Buru karya besar Pramoedya Ananta Toer ini ke layar lebar. Hal ini tentu bukan perkara yang mudah mengingat ‘Pram’ sapaan Pramoedya, dikenal sebagai sastrawan besar yang pernah menjadi nominasi peraih Nobel Sastra.

Bagi Hanung sendiri, menggarap film yang berangkat dari novel berjudul sama dari seri pertama tetralogi Pulau Buru adalah sebuah tantangan berat. Setting tahun 1800-an serta latar belakang sejarah kolonial yang kental menjadi pembuktian tersendiri agar tema sejarah dapat menarik masyarakat milenial seperti sekarang.

Bumi Manusia sendiri menceritakan tokoh bernama Minke (Iqbaal Ramadhan), seorang pribumi totok yang bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya. HBS merupakan sekolah menengah umum, yang diperuntukkan warga Belanda, Eropa dan kaum elite pribumi.

Tak heran, dalam film ini banyak yang menyoroti tentang latar sekolah HBS Surabaya. Meski sebenarnya lokasi syuting diambil di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Sleman, Yogyakarta. Namun, masyarakat Surabaya masih dapat menengok sisa-sisa sejarah sekolah HBS Surabaya yang sekarang digunakan SMAN 1, 2, 5 dan SMAN 9 Surabaya. Ini menunjukkan, selain terkenal sebagai pusat perdagangan, Surabaya juga menjadi jantung perkembangan pendidikan modern pada masa itu.

Kemudian dalam perjalanannya, Minke bertemu dengan keluarga Mellema, keluarga campuran pribumi-Belanda, yang bertempat tinggal di Wonokromo. Di sanalah ia kemudian mengagumi sosok Nyai bernama Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) dan jatuh cinta dengan putrinya Annalies Mellema (Mawar de Jongh).

Mulai memasuki gerbang bertuliskan “Wonokromo”, penonton langsung disambut dengan lanskap pemandangan hijau yang indah. Baru diketahui, bahwa sebagian besar lahan perkebunan dan peternakan tersebut milik keluarga Mellema.

Dalam film tersebut ditampilkan juga bagaimana peternakan yang diolah Nyai Ontosoroh dapat menghasilkan beragama produk, salah satunya susu yang dieskpor hingga Eropa. Seolah, Wonokromo merupakan kawasan dengan ditribusi produk yang mudah dengan atmosfer perdagangan yang sangat hidup.

Menurut sejarahnya sendiri, pemerintah kolonial Belanda membangun kota Surabaya menjadi Kota Pelabuhan Pantai terkuat dan berpengaruh di Nusantara pada abad ke-17, hingga Surabaya pada masa itu disebut-sebut sebagai kota perdagangan terbesar di Indonesia. Meski pelabuhannya tidak sebesar di Batavia, namun di Surabaya sudah terkenal dengan berdirinya banyak pabrik yang berada di sepanjang Gubeng hingga Pelabuhan Kalimas, khususnya kawasan Wonokromo.

Kawasan Wonokromo yang menjadi latar film Bumi Manusia, juga meninggalkan beberapa situs bangunan kolonial. Salah satunya pintu air Jagir, dam untuk memperlancar kondisi Surabaya sebagai kota dagangnya Hindia Belanda pada waktu itu. Karena sistem yang sangat baik itulah kemudian Surabaya sempat disebut Amsterdam From The East atau Kota Amsterdam dari Timur.

Dalam perjalanan saat meninggalkan Wonokromo, Minke beberapa kali menggunakan transportasi kereta api. Dalam film itu digambarkan bagaimana stasiun Wonokromo pada zaman dulu telah ramai dengan aktifitas warga pribumi maupun Belanda.

Stasiun Wonokromo yang beroperasi saat ini adalah stasiun warisan Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api di Hindia Belanda. Bahkan masyarakat Surabaya bisa melihat adanya pondasi jembatan kereta diatas sungai Jagir. Dulunya, jalur itu digunakan untuk kereta yang menuju area industri Ngagel untuk mempermudah distribusi dagang.

Apalagi sejak diterapkannya sistem tanam paksa, muncul kebutuhan sejumlah alat pertanian untuk mendukung sistem tersebut. Disaat bersamaan, di Surabaya, berdiri sejumlah pabrik-pabrik yang bergerak dalam bidang pembuatan alat-alat pertanian. Pabrik-pabrik tersebut kebanyakan berdiri berjajar mengikuti rel kereta api sepanjang Wonokromo hingga Gubeng.

Seain dari sisi perdagangan, film Bumi Manusia juga menampilkan segi multikulturalisme yang ada di sepanjang film dengan beragam tokoh dengan latar belakang suku dan ras yang berbeda.

Kehadiran Darsam, seorang orang kepercayaan Nyai Ontosoroh bersuku Madura ditampilkan sebagai sosok yang setia dan pemberani.

Begitu juga Minke, anak Bupati Bojonegoro yang menghabiskan waktunya di Surabaya untuk bersekolah di HBS. Ia digambarkan sebagai orang bersuku Jawa, yang keluarganya masih memegang erat nilai-nilai kultur mereka.

Selain itu tokoh Babah Ah Tjong, yang digambarkan sebagai orang China pemilik rumah plesiran atau suhian (rumah bordil) yang terletak di Jalan Surabaya, tak jauh dari rumah Nyai Ontosoroh. Sekaligus Meiko, pelacur yang menjadi saksi kunci sebuah kasus pembunuhan.

Belum lagi Jean Marais, pelukis asal Prancis yang juga sahabat Minke saat tinggal di Surabaya dan Herbert de la Croix asisten Residen Kota Bojonegoro yang justru merasa iba melihat Hindia Belanda dalam kejatuhannya.

Banyaknya masyarakat dengan suku dan ras yang ada di dalam film memperkuat bahwa Surabaya sebagai kota yang multikultural. Sebagai pusat pendidikan dan industri, banyak aktifitas di Surabaya yang melibatkan banyak golongan dan tentunya memiliki peran masing-masing di setiap bidang.

Terlebih yang menonjol tentu tokoh Nyai Ontosoroh, seorang perempuan cerdas layaknya seorang priyayi yang menempuh pendidikan. Meski seorang gundik, namun ia digambarkan sebagai sosok perempuan pribumi dengan pemikiran Eropa, yang memercikkan api perlawanan terhadap penindasan.

Namun, dari kesemua penggambaran tokoh dalam film tersebut, konflik utama yang dimunculkan tetap sama, yakni tentang memperoleh kebebasan secara hukum dan persamaan hak, sebagaimana film ini dimunculkan tepat dua hari menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia.

Semangat kemerdekaan inilah yang dicoba ‘ditebalkan’ Hanung Bramantyo dalam Bumi Manusia, sekaligus ia ingin “menghidupkan” kembali sosok Pramoedya di tengah generasi muda.

Dibanding film-film sebelumnya dengan latar kolonial lainnya seperti Kartini, Soekarno, maupun Sang Pencerah, film Bumi Manusia memberikan sentuhan sastra klasik sebagaimana film ini diangkat dari novel sastra yang telah diterjahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.

Saat ditemui di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (8/8/2019) lalu, dalam film Bumi Manusia, Hanung ingin menyampaikan agar bangsa Indonesia ini menjadi pribumi yang modern, yang bisa bekerja sama dengan bangsa lain dengan suara yang sama.

“Jadi, menjelang perayaan ulang tahun ke-74, ini momen yang pas untuk merenung. Orang ulang tahun itu kan selalu merenungi, apa yang sudah dlakukan selama ini, sampai di usia sekarang. Nah, kami menawarkan bahan perenungan melalui dua film ini,” katanya.(berbagai/tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Jumat, 3 Mei 2024
32o
Kurs