Rabu, 1 Mei 2024

Barong Osing dan Asal Mula Desa Wisata Kemiren

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Keluarga Suku Osing menyaksikan tradisi Barong Osing yang dimainkan di Desa Kemiren, Banyuwangi, Rabu (24/11/2016). Foto : Taufik suarasurabaya.net

Sama seperti desa-desa adat yang ada di penjuru nusantara, Desa Kemiren yang menjadi pusat kebudayaan Warga Using (Osing) memiliki beragam mitos dan makna filosofis yang menyertainya. Keberadaan Barong Using atau juga biasa disebuat Barong Kemiren yang menjadi kesenian khas kampung itu juga tak lepas dari kepercayaan turun temurun warga sekitar.

Aekanu Hariyono, Kepala Seksi Wisata dan Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi saat memandu crew Suara Surabaya (SS) Media berkunjung ke Desa Adat Kemiren menuturkan, konon ada seorang begawan bernama Mbah Buyut Cili merantau mencari lokasi menetap yang memiliki tanah subur serta ditumbuhi tiga serangkai pohon kemiri, duren merah dan aren (Kemiren).

“Dari situlah muncul nama Kemiren dan melekat hingga sekarang. Petilasan Mbah Buyut Cili juga ada di desa ini,” ujar Aekanu. Menurut dia, bersama dengan Mbah Sapuah, ‎Buyut Cili lantas menetap dan mendirikan sebuah padepokan dan perkampungan baru.

Keberadaan dua tokoh yang memiliki pengetahuan tentang pola tanam serta dianggap sakti ini, lantas menjadikan Perkampungan Kemiren ramai didatangi Warga Suku Osing yang memang asli Banyuwangi.

Singkat cerita, Buyut Cili tiba-tiba muksa atau hilang dan muncullah pagebluk yang disebabkan munculnya wabah penyakit. Saat muksa itu, Buyut Cili sempat mengirimkan pesan ke Mbah Sapuah untuk membuat ruwat desa dengan barong saat hari raya.

Sejak saat itu, Ruwat Barong yang disebut sebagai Ritual Idher Bumi mengusir segala bencana rutin digelar di Desa Kemiren khususnya di hari kedua Hari Raya Idul Fitri. “Awalnya Barong Osing ini untuk ritual mengusir wabah penyakit dan pagebluk,” kata Aekanu.

Ritual Idher Bumi tak hanya dengan Ruwat Barong, melainkan juga dilengkapi dengan Ritual Tumpeng Sewu yang menyajikan makanan khas Tanah Osing; Pecel Pitek (ayam). Makanan dari ayam kampung yang sudah dipanggang, dan diberi bumbu parutan kelapa pedas.

Meski lekat dengan mitos, namun cerita Barong Osing dan Tumpeng Sewu sebenarnya punya banyak makna hidup yang hingga kini terus dipegang turun temurun warga sekitar. “Misalnya kenapa Barong Osing itu banyak mengandung unsur segitiga. Begitu juga tumpeng itukan juga segitiga,” ujar Aekanu.

Makna segita adalah sebuah simbol hubungan antara Warga Osing dengan tuhannya, kemudian hubungan dengan sesama manusia serta menjaga keselarasan dengan alam yang ditempatinya.

Saking dalamnya makna menjaga hubungan dengan alam, maka pantang bagi Warga Osing menimbun atau menutup akar pepohonan. “Akar pohon yang keluar ke atas tanah dilarang di potong ataupun ditimbun, tapi manusialah yang harus beradaptasi dengan mencari jalan lain sehingga tak sampai menginjak akar pohon,” kata dia.

Selain itu, segitiga mengarah ke atas juga sebagai simbol bahwa segala sesuatu harus mengarah pada tuhan seperti dedaunan yang selalu menjulang mengarah ke matahari.

Sementara itu, selain bentuk ritual, Barong Osing juga sempat menjadi sarana warga sekitar untuk melakukan perlawanan dengan Belanda. Melalui kesenian ini, warga sering berkumpul untuk membicarakan strategi melawan Belanda.

Sampai saat ini, Barong Kemiren masih dilestarikan oleh Suku Osing di Desa Kemiren. Jika dulu Barang Kemiren hanya dimainkan tiap hari raya, kini Banyuwangi menjadikannya sebagai sebuah tradisi baru untuk menarik minat wisatawan.

“Sejak dua tahun lalu, kami juga terus mempromosikan kesenian ini untuk menarik wisatawan berkunjung ke Desa Kemiren sehingga kini Barong Kemiren bisa dinikmati tidak hanya setahun sekali tapi bisa dimainkan setiap saat,” kata M. Yanuarta Bramuda Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. (fik/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 1 Mei 2024
27o
Kurs