Jumat, 26 April 2024

Ekonom Menilai Kebijakan PCR Sudah Sesuai, Tapi Perlu Pengawasan

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Salah satu kru Suara Surabaya Media saat menjalani proses swab test PCR Covid-19 drive thru di RS Premier Surabaya, Sabtu (2/5/2020). Foto: Dok.suarasurabaya.net

Rumayya Batubara Ekonom sekaligus Peneliti CISS Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, tes PCR sebagai syarat pelaku perjalanan udara sudah tepat. Apalagi dengan turunnya biaya tes PCR menjadi Rp275 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp300 ribu diluar Jawa-Bali, menurutnya sudah menjadi kompromi bagi semua pihak.

Ia mengakui, bahwa dengan adanya wajib tes PCR secara ekonomi akan menambah biaya transaksi dan biaya perjalanan. Jika biaya transaksi meningkat, maka transaksi juga akan berkurang dan ekonomi dapat tersendat.

Namun, lanjutnya, dampak tersebut merupakan dampak jangka pendek yang masih bisa dikompromi. Karena jika mobilitas masyarakat tidak dibatasi dan tes tidak dilakukan, maka yang akan terjadi adalah meningkatnya risiko kenaikan kasus Covid-19, yang ujung-ujungnya berdampak lebih besar terhadap ekonomi di Indonesia.

“Secara kesehatan ini penting. Jangka pendeknya memang tidak bagus, tapi jangka panjangnya cost akan lebih besar (jika mobilitas tidak dibatasi). PPKM berseri itu menunjukkan bahwa itu efektif,” kata Rumayya kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (29/10/2021).

Ia menambahkan, “mau dilockdown gara-gara nggak ada PCR tapi bandara tutup semua, atau milih tetap ada perjalanan tapi biaya lebih mahal. Menurut saya itu kompromi yang baik. Apalagi tes PCR sekarang lebih murah”.

Hanya saja, Rumayya menilai dalam membuat kebijakan, pemerintah harus berhati-hati dan tetap mengambil keputusan berdasarkan data. Jangan sampai, kebijakan yang berubah-ubah memunculkan asumsi ekonomi politik, kebiajakan hanya akan menguntung segelintir orang.

“Tapi perlu namanya kebijakan ya jangan sak karepe pemerintah, tapi pakai data. Apakah ini murni kepentingan kesehatan atau ada yang mau jualan, ini harus hati-hati. Harus ada proses berbasis data,” ujarnya.

Karena menurutnya, industri kesehatan di Indonesia kurang kompetitif. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang mampu bertahan di bisnis farmasi dan obat-obatan ini.

“Kalau di ekonomi, jika industri bersifat oligopoli ke beberapa pemain dan besar, biaya entry-nya mahal, wah itu ada kemungkinan ada permainan dan kekuatan lobby ke pemerintah besar,” ujarnya.

Untuk itu, Rumayya mengatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga perlu turun tangan untuk ikut mengawasi persaingan usaha yang ada di sektor kesehatan. Tujuannya, agar muncul industri yang lebih kompetitif dan masyarakat diberikan lebih banyak pilihan alternatif.

“Kita punya KPPU untuk mengawasi ini, apakah wajar harga ini? apakah ada penyedia tes lain yang sengaja dihambat oleh peraturan? tapi kalau secara teknis ini adalah metode paling valid, ya, harus kita terima,” ujarnya.

Rumayya juga meminta masyarakat untuk tetap dengan ‘kepala dingin’ menerima kondisi ini. Ia melihat, pemerintah saat ini juga telah melakukan berbagai upaya agar ekonomi terus berjalan di tengah ancaman pandemi Covid-19.

Ia menilai, apa yang dilakukan pemerintah saat ini, baik pengetatan mobilitas dan relaksasi ekonomi, sudah berjalan dengan baik.

“Pemerintah sudah berusaha yang terbaik. PPKM berseri juga terbukti menurunkan kasus. Jadi pemerintah pas awal-awal kan ngaco kebijakannya, meremahkan. Ini sudah on track, relaksasi ekonomi juga sudah terjadi,” tutupnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
26o
Kurs