Kamis, 28 Maret 2024

Kebocoran Data Pribadi Sudah Darurat, RUU PDP Mendesak Disahkan

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Muhammad Farhan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem. Foto: dpr.go.id

Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR RI mengatakan Indonesia sudah dalam kondisi darurat kebocoran data pribadi. Hal ini dibuktikan kasus kebocoran data pribadi meningkat secara kuantitas, sehingga kebutuhan akan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan otoritas perlindungan data independen sangat tinggi.

“Awalnya kebocoran dari pihak swasta, Bukalapak, Tokopedia, tetapi kemudian data BRI Life yang bocor juga BPJS, apalagi terakhir keluar berita di Kemenkes yang juga soal kebocoran e-HAC,” kata Farhan dalam keterangannya, Rabu (1/9/2021).

Dia menjelaskan, solusi yang pas saat ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, menurut Farhan, perlindungan data pribadi tidak cukup dengan UU ITE.

Farhan menambahkan, Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) ini ingin melahirkan sebuah profesi baru yaitu data protection officer, yang akan membantu para penguasa data untuk mengelola penyimpanan, penguasaan dan pengolahan data pribadi agar sesuai dengan UU.

“Bisa juga lembaga atau protection officer ini juga dalam posisi di level sebuah perusahaan atau lembaga. Kalau di perbankan bisa kita samakan dengan direktur compliance dan mitigasi risiko. Jadi, ini posisi yang sangat tinggi, karena kalau sampai salah, dalam penguasaan dan pengelolaan data pribadi, maka ada sanksi yang menarik di RUU PDP tidak ada kriminalisasi, di RUU PDP ini akan ada denda yang sangat besar,” jelasnya.

Meski menargetkan RUU PDP akan disahkan dalam tahun ini, akan tetapi soal keberadaan lembaga independen pelindungan data masih dalam perdebatan.

Farhan mengatakan, jika otoritas pelindungan data pribadi harus ada induknya, maka diperlukan sebuah lembaga yang punya otoritas yang kuat. Farhan menilai mimpinya bisa seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Artinya, kalau kita semua sepakat mau membangun sebuah lembaga independen di bawah Presiden untuk pelindungan data, maka kita akan menuntut Presiden dan Menteri Keuangan. Tentunya, memberikan komitmen yang kuat untuk pelindungan data pribadi, minimal sekuat KPK secara politik dan minimal seperti OJk secara anggaran. Sisi lain, ada pragmatisme dan skeptisme yang harus kita jaga sebagai bentuk realistis, kalau kita buat lembaga di bahwa presiden. Independen seperti OJK, butuh waktu berapa lama?” kata dia.

Mencermati begitu daruratnya kondisi pelindungan data di Indonesia, Farhan mengatakan, yang paling realistis adalah usulan Kominfo terkait badan otoritas pengawas data pribadi. Sebab, jika memaksakan lembaga independen sejak awal, maka akan butuh tiga hingga lima tahun agar lembaga tersebut mulai bekerja dengan efektif.

“Bahwa, nanti dalam perkembangan berikutnya kita lakukan evaluasi lembaga ini makin lama makin besar, sehingga nanti bisa menyaingi keberadaan Kominfo, ya boleh dipecah, persis seperti BI dan OJK. Jadi yang saya tawarkan di sini adalah sebuah narasi tentang pragmatisme dan idealisme, keduanya bagus. Kita harus memilih dengan konsekuensinya masing-masing,” pungkas Farhan.(faz/tin/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 28 Maret 2024
27o
Kurs