Rabu, 24 April 2024

PRSSNI: Radio Hadapi Persaingan Tidak Fair dengan Platform Digital

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Earphone. Foto: Pixabay

M Rafiq Sekjen Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menegaskan, disrupsi digital menghilangkan batas-batas geografi dan jenis-jenis media.

“Kita nggak tahu lagi sekarang, apa iya masih ada media audio, media video, media teks, karena sekarang semuanya campur-campur jadi satu,” ujar Rafiq, Senin (7/2/2022).

Dia sampaikan itu dalam diskusi di Konvensi Nasional Hari Pers Nasional (HPN) 2022 dengan tema “Membangun Kedaulatan Nasional Di Tengah Gelombang Digitalisasi Global” secara daring.

Akibatnya, kata Rafiq, itu mengubah peta persaingan media, cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan data. Juga strategi promosi dan cara beriklan. Semua berubah kecuali regulasi.

“Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Perfilman, dan berbagai aturan terkait lainnya tetap sama,” jelas Rafiq.

Jadi, menurut Rafiq, kompetitor radio sekarang datang dari jauh atau tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dan persaingan atau pertandingan menjadi tidak seimbang dengan bermunculannya platform digital.

“Memang kenyataannya pertandingan jadi tidak seimbang. Jadi sekarang bukan lagi radio lawan radio bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Sekarang kompetitor radio itu adalah YouTube musik, joox, Google, Spotify, Twitter, Facebook, Instagram maupun SoundCloud,” katanya.

Menurut Rafiq, Radio harus mempunyai izin dan syarat tertentu, sementara platform digital bebas tanpa syarat dan izin apa pun.

“Radio harus punya Izin Stasiun Radio (ISR), harus punya Izin Prinsip Penyelenggaraan (IPP), harus patuh kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bayar Pajak Penghasilan (PPh), bayar biaya hak penggunaan frekuensi, menyatakan semua karyawan di BPJS kesehatan dan tenaga kerja, menggaji tidak boleh dibawah UMP, teman-teman di televisi tentu harus mendapatkan cap dari sensor dan lembaga sensor film,” kata dia.

“Saya tidak tahu apakah temen-temen di Mola dan di vidio.com misalnya juga diwajibkan mendapatkan stempel dari LSF. Yang pasti netflix tidak begitu, ya,” katanya.

Rafiq menambahkan, radio harus patuh kepada undang-undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran dan patuh kepada Undang-Undang Pers, Undang-Undang Telekomunikasi, dan lain sebagainya.

Sementara kompetitor yang datang dari negara-negara empat musim, negara-negara bersalju, mereka menikmati hangatnya matahari di negara Indonesia.

“Kalau mataharinya rada terik ya Alhamdulillah ada awan yang menaungi. Awan yang menaungi cukup besar dan kalau tetap terik, banyak payung yang melindungi mereka. Sangat bahagia hidup mereka di negara kita,” katanya.

Rafiq menegaskan penyiaran tampaknya tidak lagi berdaulat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga, akhirnya review atas regulasi mutlak diperlukan.

“Regulasi yang mengatur tentang konten pada Undang-Undang Penyiaran yang mengamanatkan dibentuknya KPI kemudian KPI menurunkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), ada Undang-Undang Pers yang mengamanatkan dibentuknya Dewan Pers dan pedoman pemberitaan, Undang-Undang perfilman, ada lagi lembaga sensor film, semua film bahkan film iklan harus lulus sensor, ada undang-undang telekomunikasi yang membuat lembaga penyiaran harus memiliki ISR selain IPP tentunya,” ujar Rafiq.

“Kemudian pengaturan siaran iklan bahwa lembaga penyiaran diwajibkan menyiarkan iklan layanan masyarakat, terbatas menyiarkan produk tembakau dan turunannya, dilarang menyiarkan minuman beralkohol dan mengatur penyiaran alat kontrasepsi,” tambahnya.

Rafiq menginginkan ada aturan tepat dalam platform digital maupun lembaga penyiaran. Yang penting kebebasan publik untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat tidak boleh diganggu gugat.

“Regulasi seperti apa sih yang kita perlu? Apakah lembaga penyiaran menjadi bebas seperti platform digital atau platform digital diminta untuk ikut aturan main yang selama ini kita patuhi, atau dibutuhkan aturan main baru yang fair dan logis buat keduanya?” Tanya Rafiq.

Sementara, Rafiq juga memaparkan data pengguna internet Indonesia. Penduduk Indonesia hanya 274 juta tapi smartphone yang connect 345 juta. Internet user 202 juta, pengguna aktif sosial media ada 170 juta.

Pertumbuhannya dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah penduduk hanya bertumbuh 2,9 juta tapi jumlah smartphone bertambah 4 juta. Pengguna internet bertambah 27 juta, pengguna sosial media bertambah 10 juta.

Tidak hanya itu, penduduk itu aktif di internet 8 jam 52 menit, nonton TV streaming dan broadcast 2 jam 50 menit, aktif di sosial media 3 jam 14 menit, dan media online 1 jam 38 menit.

Sementara untuk mendengarkan streaming musik lamanya 1 jam 30 menit, dan celakanya, kata dia, mendengarkan radio cuma tinggal 33 menit, podcast 44 menit, main games 1 jam 16 menit.

Aktivitas mereka di internet 98 persen lihat film, nonton vlogs 74,3 persen, mendengarkan joox dan spotify 84 persen, mendengarkan radio secara streaming 52,1 persen dan mendengarkan podcast 58 persen.(faz/iss/den)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 24 April 2024
30o
Kurs