Selasa, 16 April 2024

Hadar Gumay: Pemilu Serentak Tidak Cocok dengan Kondisi Sosial Budaya Politik Indonesia

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hadar Nafis Gumay. Foto: Antara

Hadar Nafis Gumay Komisioner KPU Tahun 2012-2017 mengatakan, Pemilu Serentak membuat penyelenggaraan pemilu tidak sederhana dan menjadi sangat besar. Karena ada pemilu di tingkat pusat (DPR), di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (DPRD), Anggota DPD RI, serta Pilpres.

“Ini membuat pemilihan itu menjadi sangat besar seperti tampak jelas di penyelenggaraan Pemilu Serentak pertama kali di 2019. Sistem pemilihan kita sangat rumit, penggabungan itu bukan pekerjaan mudah, punya tantangan yang sangat besar,” kata Hadar, Kamis (9/6/2022).

Dia menilai penggabungan Pemilu tidak perlu dipertahankan, karena tidak cocok dengan situasi sosial budaya politik Indonesia yang sangat beragam, disamping soal beban kerja yang sangat berat.

“Kita tidak cukup berhenti dan mengatakan, telah sukses tingkat partisipasi saja. Tetapi buat masyarakat, penggabungan Pemilu itu memilih calon yang mempunyai integritas tinggi,” kata dia.

Pemilu Serentak 2019 lalu, kata Hadar, justru mengungkapkan sebuah fakta adanya kesalahan dan ketidaksahan suara yang tercoblos sangat tinggi mencapai 11 persen atau sekitar 17 jutaan.

Angka tersebut, bukan angka yang kecil dibandingkan dengan negara lain, yang paling tinggi pada kisaran angka 6 persen.

“Kesalahan tersebut akibat publik lebih merespon Pilpres ketimbang Pileg. Penyelenggara Pemilu sendiri juga tidak terlalu menyadari itu dengan memberi ruang-ruang lebih untuk Pilpres ketimbang Pileg. Yang menonjol yang tereskpos di masyarakat adalah Pemilihan Presiden, sehingga Pemilu Legislatif terlupakan,” jelasnya.

Selain itu, pengadaan logistik Pemilu juga menjadi tidak mudah karena memiliki batas waktu dan mesti diadakan dalam masa berkampanye. Padahal pengadaan logistik untuk Pileg membutukan waktu yang lebih panjang dibandingkan Pilpres.

“Karena itu, Pemilu Legistifnya jauh lebih rumit dibandingkan Pemilihan Presiden maka sebaiknya dipisah, tidak digabungkan. Pilpres bisa digelar dua bulan setelah Pileg, ini pengalaman kita dulu,” jelasnya.

Hadar menegaskan, dirinya tidak terlalu bangga dengan sistem Pemilu Serentak saat ini, karena banyak hal-hal yang tidak pas diterapkan seperti kasak-kusuk yang dilakukan partai politik tertentu menjelang Pemilu 2024.

“Padahal situasi politik lima tahun lalu, dengan situasi sekarang sangat mungkin berbeda di 2024. Mereka bisa tidak terpilih lagi, tapi sudah membuat koalisi-koalisi. Jadi mohon maaf, hal seperti ini tidak perlu diteruskan,” tegasnya.

Pelaksanaan Pemilu Serentak saat ini, dalam pandangannya tidak mencerminkan sistem presidensil yang mendapatkan dukungan kuat dari legislatif. Sebaliknya, situasi sekarang menjadi anomali dan kontra produktif di publik dan ketatanegaraan.

“Sepengetahuan saya di Korea Selatan, Prancis maupun negara lain di dunia, siklus Pemilu 5 tahunan itu tidak dibangun dari suara 5 tahun lalu, tetapi berdasarkan survei atau suara terdekat. Ini hanya terjadi di Indonesia, makanya saya tidak begitu bangga dengan Indonesia, dan harus saya katakan itu. Menurut saya, itu bertentangan dengan konstitusi,” tegas Hadar.(faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 16 April 2024
29o
Kurs