Minggu, 28 April 2024

APVI Keberatan Pajak Rokok Elektrik, Kemenkeu Sebut Bisa Ajukan Judicial Review ke MK

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Pemerintah menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pajak Rokok atas Rokok Elektrik mulai tanggal 1 Januari 2024. Ilustrasi: Reuters

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pajak Rokok atas Rokok Elektrik (REL) mulai 1 Januari 2024.

Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Deni Surjantoro Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu menjelaskan, tujuan diterbitkannya PMK itu adalah sebagai upaya mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat.

Pemberlakuan Pajak Rokok Elektrik merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat dalam memberikan masa transisi pemungutan pajak rokok atas rokok elektrik sejak diberlakukan pengenaan cukainya pada pertengahan tahun 2018.

Rokok elektrik merupakan salah satu barang kena cukai. Sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur bahwa cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang salah satunya adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).

Selain itu, pengenaan Pajak Rokok Elektrik ini lebih mengedepankan aspek keadilan. Mengingat rokok konvensional dalam operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak 2014. Selain tentu untuk pendapatan negara.

Garindra Kartasasmita Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mengatakan, pada 2024 telah ada kenaikan cukai dan Harga Jual Eceran (HJE). Kenaikan ini sudah ditetapkan sejak akhir 2022. Kenaikaan ini sudah bisa diantisipasi karena telah diinformasikan sejak 2022.

“Yang tidak bisa kami antisipasi adalah pajak rokok. Jadi pajak rokok ini adalah pajak yang alokasinya untuk pemerintah daerah. Berbeda dengan PPNHT, berbeda dengan cukai, yang sebelumnya hanya dikenakan di rokok konvensional dan kemudian pada tahun ini dikenakan ke rokok elektrik,” ucap Garindra dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (2/1/2024).

Menurut Garindra, kabar tersebut telah didengar oleh APVI sejak Oktober 2023. Kemudian mereka baru mendapatkan kabar pada 28 November 2023 melalui sosialisasi yang digelar Bea Cukai. Pada saat itu telah muncul penolakan dari APVI.

Kemudian APVI bertemu dengan perwakilan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pada saat itu, menurut Garindra, ada kesepakatan untuk diundur pada 2026.

“Kami keberatan karena cukainya sudah naik 19 persen, HJE-nya naik 19 persen, kalau ditambah pajak rokok, ini jadi triple hit untuk kami. Kemudian pada 2025 akan ada kenaikan tarif PPNHT (pajak pertambahan nilai hasil tembakau.red) yang tadinya 9,9 persen menjadi 10,9 persen, bersamaan dengan naiknya PPN Regular. Kami mau bayar pajak rokok, tapi bertahap,” terangnya.

Garindra Kartasasmita juga menyesalkan karena sosialisasi pajak rokok elektrik yang tidak ada atau kurang. Selain itu, Garindra mengaku bahwa APVI tidak pernah diundang terkait sosialisasi UU HKPD yang melandasi terbitnya PMK Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok.

“Setelah kami cek, dalam UU tersebut tidak ada satu kata pun yang menyebutkan rokok elektrik atau rokok elektronik di dalam undang-undang tersebut. Lalu apakah yang menjadi dasar dari PMK 143 ini? Setelah kami tanya ke DJPK, dasarnya adalah, pasal yang ada di UU nomor 1 tahun 2022 itu disebutkan bahwa pajak rokok dikenakan untuk produk rokok yang dikatakan cukai. Produk rokok berupa rokok, cerutu, dan jenis dan jenis rokok lainnya. Nah jenis rokok lainnya ini dianggaplah rokok elektrik. Padahal selama ini kami bercukai itu bukanlah di ranahnya rokok tembakau, tapi di ranahnya hasil pengolahan tembakau,” jabarnya.

Garindra Kartasasmita menyebut, meski namanya rokok elektrik, namun ia merasa bukan rokok. Sebab rokok elektrik tidak seperti definisi rokok konvensional yang tertera di undang-undang

“Definisi rokok adalah berisikan tembakau, dibakar, dihirup asapnya, seperti itu. Tapi kami tidak ada asap, kami adanya uap. Kami tidak ada pembakaran, adanya pemanasan. Semuanya berbeda. Kami merasa ini adalah persepsi tersendiri dari Kemenkeu untuk mempersepsikan bahwa jenis rokok lainnya itu adalah rokok elektrik. Padahal dasar hukumnya tak ada di situ,” jelas Garindra.

Garindra memprakirakan pemberlakuan pajak ini akan membuat harga rokok elektrik naik minimal 10-15 persen. Namun kenaikan itu kembali ke masing-masing produsen.

“Kami akan berdiskusi dulu. Kemudian kami akan membawanya ke ahli hukum kami. Apabila pendapat kami betuk, dalam arti ada cacat hukum dalam penetapannya ini, maka kami akan menempuh jalurnya sesuai hak kami sebagai warga negara,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Lydia Kurniawati Christyana Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu menegaskan bahwa pajak rokok bukan hal baru. Sebab pajak rokok sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Pajak rokok ini kebijakan atau sistemnya adalah piggyback taxes. Artinya, setiap ada cukai rokok maka itu terikut pajak rokok, 10 persen dari cukai rokok. Itu sudah dikenal atau sudah ada di Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009. Namun belum dikenakan untuk yang elektrik,” ujar Lydia ketika mengudara di Radio Suara Surabaya.

Lydia menyebut, sejak 2018 rokok elektrik sudah dikenakan cukai. Maka kembali kepada regulasi, bahwa pajak rokok sebagai piggyback taxes itu atas cukai rokok harus dikenakan pajak rokok. Salah satu pertimbangannya adalah asas keadilan. Mengingat hal ini juga diterapkan ke rokok konvensional.

“Sejak 2018 setelah cukai rokok diterapkan ke rokok elektrik, itu belum dipungut pajak rokoknya. Kemudian baru akan diimplementasikan per 1 Januari 2024. Artinya masa transisi yang diberikan pemerintah sudah cukup lama, yakni dari 2018 sampai sekarang,” ujarnya.

Selain asas keadilan, pertimbangan kedua adalah karena rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang harus dikendalikan, maka disebut barang kena cukai atau BKC. Pertimbangan ketiga, lanjut Lydia, pemerintah harus taat terhadap undang-undang. Maka aspek compliance terhadap regulasi itulah yang diusung oleh Kemenkeu.

“Yang keempat, termasuk barang yang dikendalikan, bukan semata-mata pendapatan negara. Karena kontribusi atau penerimaan dari cukai rokok elektrik itu pun hanya satu persen dari pendapatan nasional. Artinya tidak semata-mata kita mau kasih pajaknya untuk pendapatan negara. Tidak juga, karena kontribusinya kecil,” jelasnya.

Selanjutnya, Lydia mengatakan bahwa ini adalah pajak daerah, artinya pendapatan masuk ke kantong daerah. Karena pajak rokok akan kembali ke masyarakat untuk penanganan kesehatan dan penegakan hukum.

“Dari komponen pajaknya tidak ada rincian detail yang banyak sekali. Kriteriannya hanya sepuluh persen dari cukai rokoknya. Kalau cukai rokok kan 15 persen, artinya sepuluh persen dari 15 persen itulah pajak rokoknya,” ungkapnya.

Lydia menambahkan, penerimaan pajak rokok pada 2022 lalu sebesar Rp21,6 triliun. Kemudian hingga November 2023, penerimaan pajak rokok sebesar Rp17,8 triliun. Tapi itu hanya pajak rokok konvensional saja, belum termasuk pajak rokok elektrik.

Lantas, kenapa pajak rokok elektrik harus diterapkan per 1 Januari 2024? Menurut Lydia, pemerintah harus patuh terhadap regulasi yang disusun. Dalam hal ini Undang-Undang nomor 1 tahun 2022.

“Undang-Undang 2022 itu menamanahkan efektif diimplementasikan sejak 5 Januari 2024. Jadi sejak diterbitkan, efektif berlakunya baru 2024. Artinya dalam masa dua tahun ini, ketika undang-undang itu diterbitkan dan diundangkan dalam berita negara, maka seluruh masyarakat logiknya tahu karena diundangkan dalam berita negara,” jelasnya.

Lydia menegaskan, sosialisasi terhadap Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 itu telah digencarkan oleh Kemenkeu di berbagai daerah. Ia mengaku sosialisasi itu melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, pelaku usaha, Kadin dan sebagainya.

“Jadi masyarakat seharusnya sudah tahu bahwa Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 itu akan diimplementasikannya per Januari 2024,” terangnya.

Lydia juga menyebut pemberlakuan pajak rokok elektrik ini tidak menambah beban masyarakat. Pertama, karena pajak rokok sudah diberlakukan sejak 2009 dan diterapkan pada 2014. Kedua, ini adalah bagian dari pendapatan daerah.

“Artinya ketika itu sudah berjalan dengan baik dan hanya ditambahkan unsur rokok elektrik mulai tahun 2018 untuk cukainya dan sekarang tahun 2024 untuk pajak rokoknya, insyaallah secara implementasi kebijakan akan berjalan dengan baik,” terang Lydia.

Lydia menyebut jika ada pihak yang keberatan dengan kebijakan ini dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial review.

“Mereka boleh mengajukannya dan it’s okay karena sudah menempuh jalur yang sesuai. Artinya nanti ketika mereka sudah mengajukan, Kementerian Keuangan atas nama pemerintah akan menanggapi atas uji konstitusi tersebut,” ujar Lydia. (saf/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Minggu, 28 April 2024
29o
Kurs