Sabtu, 27 April 2024

WALHI Ingatkan Pemerintah Soal Rencana Perdagangan Karbon

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Nur Hidayati (kedua kanan) Diretur Eksekutif WALHI Nasional dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019). Foto: Antara

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengharapkan pemerintah berhati-hati saat terjun ke skema perdagangan karbon yang dinilai tidak akan mewujudkan penurunan emisi untuk mengekang dampak perubahan iklim, menurut Nur Hidayati Direktur Eksekutif WALHI Nasional.

“Negara-negara berkembang yang dianggap masih memiliki karbon kredit yang banyak dibandingkan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara-negara yang melakukan emisi, jadi sebenarnya itu hanya jual beli di atas kertas. Dari sisi negara maju tidak benar-benar menurunkan emisinya secara konkret,” katanya dalam konferensi pers Pesan Akhir Tahun untuk Perubahan Iklim di kantor WALHI di Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).

Perdagangan karbon adalah skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon secara alami.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antarnegara dengan Luhut Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan terdapat potensi besar yang nilainya berkisar antara 82 miliar atau 100 miliar dolar AS.

Menurut Luhut, angka itu bisa didapat karena Indonesia memiliki 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri masih menggodok format agar Indonesia bisa memanfaatkan carbon credit untuk perdagangan karbon.

Regulasi itu ditargetkan selesai pada 2020 atau sebelum Perjanjian Paris (Paris Agreement) mulai diberlakukan pada 2021.

Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dengan komitmen menurutkan emisi sebesar 29 persen berdasarkan skenario business as usual (BAU) dengan upaya sendiri dan 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional.

Menanggapi potensi tersebut, Nur Hidayati Direktur Eksekutif WALHI Nasional meminta agar pemerintah benar-benar mempelajari secara utuh dan membuat regulasi yang sangat rinci sebelum benar-benar terjun dalam pasar perdagangan karbon.

“Ini jangan dianggap pasar karbon itu, kalau saya lihat sekarang, ada seolah-olah anggapan sebagai sumber devisa baru. Padahal tidak. Ini adalah sistem pay for performance bukan yang jual belinya di mana ada komitmen lalu uang akan langsung ada. Tapi negara yang membeli carbon credit dari Indonesia akan melihat apakah dalam sekian tahun yang dikomitmenkan benar-benar menurunkan emisi,” ujar dia.

Menurut Nur Hidayati, di segala level pemangku kepentingan perlu adanya literasi untuk mengerti benar tentang skema perdagangan karbon sebelum Indonesia mulai memanfaatkan potensi carbon credit yang dimilikinya.(ant/tin/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
27o
Kurs