Kamis, 2 Mei 2024

Indostrategic: Perppu Pemilu Bisa Timbulkan Kecemburuan Parpol Baru karena Tidak Fair dan Diskriminatif

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Yuri Ardiana (tengah) Peneliti Senior Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic). Foto: Istimewa

Yuri Ardiana Peneliti Senior Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) menjelaskan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 tahun 2022 tentang Pemilu, yang sedianya diterbitkan pemerintah, di antaranya mengatur nomor urut Partai Politik, terasa diskriminatif dan tidak fair.

“Nuansa diskriminatif Perppu Pemilu yang baru tersebut terletak pada pasal 179 ayat (3) yang mengatur bahwa partai lama bisa tetap menggunakan nomor urut lama. Sedangkan partai baru dan partai lama yang tidak menghendaki nomor urut lama dipersilakan mengikuti pengundian ulang nomor urut Parpol di KPU,” ujar Yuri dalam keterangannya, Selasa (13/12/2022).

Selanjutnya, kata Yuri, Perppu Pemilu itu akan menjadi dasar bagi KPU untuk segera menerbitkan PKPU (Peraturan KPU) Nomor 4 Tahun 2022 khususnya berkenaan dengan Pasal 137 Perppu Pemilu, beserta lampirannya, terkait dokumen pengundian nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 mendatang.

“Aturan itu terasa diskriminatif dan tidak adil, karena nomor urut Parpol menjadi salah satu “Magic Number” tersendiri bagi partai politik untuk memenangkan Pemilu,” tegasnya.

Menurut Yuri, nomor urut merupakan hal yang cukup berpengaruh pada efektivitas sosialisasi, yang akan menentukan hasil pemilu partai.

“Karena partai-partai lama yang mendapatkan “nomor cantik” seperti PKB di nomor 1, Gerindra di nomor 2 atau PDIP di nomor 3, Golkar di nomor 4, Nasdem nomor 5, akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari Perppu ini,” jelas Yuri.

Sementara itu, partai politik baru atau partai lama yang ingin mengubah nomor urutnya, dipaksa (faith accompli) untuk melakukan pengundian nomor urut “sisa” dari hasil penetapan nomor urut di Pemilu 2019.

“Dengan nomor urut sisa itu, mereka harus berjuang dari 0 dan tertinggal start. Sementara Partai politik lama bisa mencuri start lebih awal untuk mensosialisasikan branding lama ke masing-masing basis pemilih loyal,” terangnya.

Dengan demikian, lanjut dia, partai-partai lama akan mendapat banyak keistimewaan dari aturan itu, satu di antaranya nomor urut masih diingat masyarakat di Pemilu 2019 yang lalu dan juga bisa menjadi keuntungan dari segi logistik, karena sisa logistik Pemilu 2019 yang lalu bisa dipakai.

Jika mendapatkan nomor urut yang berada di atas 10, tantangannya lebih besar, khususnya untuk mengarahkan swing voters dan simpatisan dalam teknis pencoblosan kartu suara nantinya. Apalagi di masyarakat juga ada kepercayaan tentang “angka sial” atau nomor yang dihindari.

Sehingga, kata Yuri, partai-partai baru atau partai lama yang tidak mendapatkan posisi di urutan awal dipaksa kerja extra keras untuk sosialisasi ke basis pemilih mereka. Karena itu, akan lebih baik dan fair jika nomor urut kembali dikocok ulang, agar masing-masing partai politik bisa berjuang dari garis start yang sama dalam menjelaskan ke masing-masing basis pemilihnya.

“Kocok ulang semua nomor urut partai akan menjadi ujian riil bagi efektivitas kinerja mesin politik yang sesungguhnya,” pungkas Yuri.(faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Kamis, 2 Mei 2024
32o
Kurs