Senin, 29 April 2024

Belajar dari Kasus Haris dan Fatia, Pakar Hukum Ajak Masyarakat Makin Bijak Bermedia Sosial

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Haris Azhar Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti Koordinator Kontras saat memberikan keterangan kepada wartawan usai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Senin (21/3/2022). Foto: Antara

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memvonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena tidak terbukti bersalah atau tidak mencemarkan nama baik Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves).

Keduanya dibebaskan dari segala dakwaan dan dipulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya sebagai warga negara.

Kasus ini berawal dari perbincangan Haris dan Fatia dalam tanyangan podcast YouTube berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam”.

Keberatan dengan tudingan itu, Luhut melaporkan keduanya ke polisi atas perkara pencemaran nama baik. Kasus ini akhirnya bergulir di persidangan.

Dalam sidang putusan itu, Majelis Hakim menyoroti frasa “Lord Luhut” yang dilaporkan sebagai pencemaran nama baik. Menurut majelis hakim, frasa “Lord Luhut” bukan penghinaan maupun pencemaran nama baik.

Frasa ‘Lord’ yang diletakkan sebelum nama Luhut, sudah sering dipakai media online. Kata ‘Lord Luhut’ juga sering diucapkan dalam perbincangan sehari hari, tapi tidak menimbulkan permasalahan untuk Luhut sendiri.

Menurut hakim, penyematan kata lord kepada Luhut, justru menunjukkan posisi Luhut yang mendapat banyak kepercayaan jabatan dari Joko Widodo Presiden.

Penyebutan kata lord bukan ditujukan pada personal Luhut, tapi lebih pada posisi Luhut sebagai salah seorang menteri di kabinet Joko Widodo. Majelis hakim menilai kata ‘Lord’ pada Luhut bukanlah dimaksud sebagai suatu penghinaan atau pencemaran nama baik.

Menyikapi hal itu, Dr. Go Lisanawati S.H., M.Hum. dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan bahwa secara general, khusus ranah media sosial, sering kali masyarakat melupakan antara batasan apa yang boleh dan tidak boleh.

“Sementara ada pula berlindung di balik yang namanya kebebasan berpendapat. Kita juga dibatasi yang namanya etika dan segala macam. Maka pencemaran nama baik ini mungkin akan selamanya menjadi satu hal yang akan selalu diperdebatkan,” kata Lisana sapaan akrabnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (10/1/2024).

Dalam kasus Haris dan Fatia lawan Luhut Pandjaitan, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Pertama belajar menggunakan ruang, bagaimana menggunakan hasil penelitian, juga bagaimana sebaiknya hasil penelitian itu didesiminasikan.

Artinya kalau penelitian itu kan juga berdasarkan dengan metodologi. Maka Lisana berpikir semua harus bijak. Sebab jika sesuatu dimulai dengan good faith, maka hasil akhirnya juga positif.

“Sebetulnya tanpa perlu bicara hukum pun, kita itu sebetulnya sebagai manusia kan diberi akal, kita diberikan sense untuk bisa tahu kapan sih saya mengeluarkan kritik,” ujarnya.

Lisana berpendapat bahwa sebuah kritik tidak boleh dipidanakan. Sebab kritik berangkat dari pelbagai sumber. Baik itu hasil riset atau pemberitaan.

Tapi harus diingat, dengan dunia yang semakin tidak jelas, maka harus diklarifikasi lebih jauh kembali apakah sumbernya asli atau tidak, bisa diverifikasi atau tidak.

“Tapi karena kemudahan jari untuk mengetik, sering kali lebih terekspresikan. Seolah-olah itu kritik padahal malah jatuhnya bukan kritik. Nah, yang sering kali hilang pada hari ini adalah kita tidak tahu sumbernya ini bisa dipertanggung jawabkan atau tidak,” bilangnya.

Terkait dengan frasa frasa “Lord Luhut” yang disoal dalam perkara Haris dan Fatia, Lisana beranggapan jika frasa itu diartikan sebagai sesuatu karena ada rangkaian ceritanya maka, sebetulnya harus dimulai dari good faith atau good willing.

Lalu jika bicara secara kontekstual, di media sosial masa kini ada banyak penggunaan kata “Lord” atau “Bos”, dan terkadang ada yang tidak nyaman dengan panggilan itu.

Kalau mengatakan secara aturan, tidak boleh dikaitkan dengan dengan perasaan korban. Tapi selalu akan bermula dari perasaan korban.

“Saya melihat dalam dua sudut ini, sebetulnya bukan masalah risetnya. Tapi bagaimana cara memberitahukan hasil riset itu,” terangnya.

Ia kembali menekankan bahwa hidup bermasyarakat itu ada norma dan etika. Yang ia khawatirkan adalah normal itu mulai samar dewasa itu. “Tidak perlu takut (mengeluarkan kritik). Tinggal nanti kalau misalnya jadi pembuktian di persidangan, ya sudah dibuktikan saja,” tegasnya.

Dalam aspek hukum, kritik harus ditarik secara jelas sehingga tidak menjadi sebuah penghinaan. Kritik harus sesuatu yang mempunyai fakta. Masyarakat juga harus harus belajar itu adalah bagaimana saya mengklarifikasi bahwa fakta ini adalah fakta.

Selain itu masyarakat tidak boleh semena-mena menyampaikan kritik. Sehingga menggunakan kata-kata yang seharusnya tidak dipilih.

“Kritik itu harus sesuatu yang on point, sesuatu yang juga memberikan masukan. Sehingga, ketika kita dikritik, kita bisa improve atau menjadi lebih baik,” terangnya. (saf/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Senin, 29 April 2024
27o
Kurs